Dua startup Eropa mengungkapkan kemajuan signifikan dalam pengembangan baterai listrik daur ulang yang dapat mengurangi ketergantungan dunia terhadap China.
Altilium dari Inggris dan Tozero dari Jerman mengembangkan teknologi daur ulang sebagai bagian dari upaya untuk memenuhi peraturan kendaraan listrik yang diberlakukan di Eropa pada Agustus 2030. Aturan baru ini mengharuskan 6 persen dari lithium, nikel, dan 16 persen kobalt yang digunakan dalam baterai mobil listrik di Eropa berasal dari proses daur ulang, dengan persentase ini terus meningkat setiap lima tahun.
Menurut Reuters, kedua perusahaan ini menjadi pesaing utama China yang saat ini memimpin dalam teknologi daur ulang.
Altilium mengungkapkan bahwa penelitian dari Imperial College menunjukkan baterai kecil yang dibuat dengan katoda daur ulang memberikan kinerja setara dengan baterai yang menggunakan material baru. Katoda baterai kendaraan listrik umumnya menggunakan lithium, kobalt, nikel, dan mangan.
Indonesia sebagai salah satu penghasil nikel terbesar di dunia turut berperan dalam pasokan bahan baku untuk pembuatan baterai mobil listrik.
Christian Marston, CEO Altilium, mengatakan bahwa penggunaan material daur ulang dapat mengurangi emisi CO2 sebesar 70 persen dan lebih murah 20 persen dibandingkan dengan material baru. “Terobosan teknis ini menjadikan penggunaan material daur ulang sebagai pilihan yang aman bagi pabrikan mobil,” ujarnya kepada Reuters pada Kamis (13/2/2025).
Saat ini, Altilium bekerja sama dengan Tata Motors dari India untuk mengembangkan sel baterai yang memanfaatkan material daur ulang dari Jaguar i-Pace.
Tozero, yang didukung oleh Honda, sedang mengembangkan pabrik grafit daur ulang dengan proses hidrometalurgi yang diklaim bebas emisi jika menggunakan energi terbarukan. Grafit saat ini berkontribusi hingga 40 persen terhadap jejak karbon dari baterai lithium ion.
Pabrik Tozero diperkirakan akan mulai beroperasi pada 2027 dengan kapasitas 2.000 ton grafit daur ulang per tahun, yang cukup untuk memproduksi 50.000 mobil listrik.